Cacing pun Bisa Menguntungkan

Cacing pun Bisa Menguntungkan

Pernah memegang cacing tanah? Mungkin melihat pun ada yang tidak menginginkannya. Karena sudah mafhum banyak orang yang jijik pada makhluk golongan invertebrata ini. Padahal sebenarnya, sudah lama cacing tanah memberikan manfaat bagi manusia.

Tetapi ada juga yang memanfaatkannya untuk keuntungan ekonomi. Di Indonesia, isu ini nyaring terdengar sejak awal dekade 1990-an. Padahal, cacing tanah sudah dibudidayakan sejak 1950-an. Ada keuntungan komersil untuk makanan, obat, dan lain-lain. Selain itu, budi daya ini pun bisa menjadi cara mengatasi masalah lingkungan.

Sudah banyak penelitian yang menyebut cacing memiliki peran dalam mengatasi masalah sampah. Pernah terdengar, ribuan cacing impor dikerahkan untuk memusnahkan sampah di Semarang . Harian Umum Pedoman Rakyat edisi 30 Juni 1988, menyebut program pemerintah daerah itu bisa mengurangi 70% sampah.

Gagasan seperti ini sudah diperkenalkan sejak tahun 1976, oleh sekelompok ilmuwan dari Insitut Penelitian Nasional Prancis, terutama untuk mengatasi sampah organik dari sisa makanan manusia, atau limbah hewan ternak.

Di tengah ribut penanganan sampah Kota Bandung, cara seperti ini bisa dilakukan. Dan sebenarnya, Kota Bandung pernah mendapat predikat The World Congress of Local Authorities for a Suistainable Future di New York, Amerika Serikat September 1990 untuk konsep Kawasan Industri Sampah (Kipah) yang memiliki falsafah "sampah sebagai sumber daya dan sumber nafkah" (Pikiran Rakyat, 18/4/1992).

Sejak 2 bulan terakhir, di Arboretum Universitas Padjadjaran sedang dilakukan pengembangan konsep terpadu antara limbah hewan ternak dan pembuatan pupuk organik. Konsep ini merupakan gagasan untuk menciptakan ekosistem yang seimbang secara holistis.

Bambang Sudiharto, staf pengajar di Fakultas Peternakan dibantu beberapa rekan lainnya, mengangkat konsep bahwa semua limbah bisa dimanfaatkan dan tidak menjadi bahan pencemar.

Limbah peternakan, pertanian, dan sampah rumah tangga mempunyai potensi sebagai sumber pencemar yang dapat dimanfaatkan jika dilakukan pengelolaan sesuai dengan potensinya. Di Arboretum, Bamban, dan rekan-rekannya, menggunakan limbah ternak kambing, sapi, kelinci, sisa pertanian, dan sumber organik lainnya sebagai media pembuatan kompos. Sumber limbah diambil dari sekitar kampus Unpad.

"Yang menyatakan limbah atau sampah adalah manusia. Sebenarnya masih bisa dibutuhkan oleh makhluk lainnya sebagai kebutuhan," ujar Bambang kepada Kampus.

Teknik pengomposan dengan cacing yang dilakukan di sini tidak melakukan di dalam baskom, ember, atau wadah lainnya, namun ditempatkan di atas tanah biasa yang dibentuk seperti larikan dengan lebar 80 cm. Perbedaannya adalah teknik ini lebih mudah dibandingkan dengan teknik di dalam wadah adalah. Selain itu, sesuai dengan konsep untuk menciptakan ekosistem yang holistis.

Apakah penggunaan teknik ini menimbulkan bau? "Tidak sama sekali," katanya menambahkan.

Penggunaan cacing pada kompos setengah jadi yang ditebar di larikan tadi adalah untuk mempercepat proses pengomposan. Cacing yang disebar tadi bisa bereproduksi. Dengan begitu, sistem larik ini pun bisa menjadi media peternakan cacing.

"Jadi ada dua keuntungan. Ada kompos dan ada ternak cacingnya. Dua-duanya bisa dimanfaatkan," katanya.

Keuntungan lainnya, adalah sebagai pakan ternak. Protein cacing tanah lebih tinggi dari tepung ikan. Selain itu, terdapat asam amino yang paling lengkap yang tidak dimiliki oleh bahan pakan lain, tidak berlemak, mudah dicerna, dan tidak bertulang sehingga seluruh jasadnya terpakai.


agus rakasiwi
kampus_pr@yahoo.com